Connect with us

Filosofi Politik

Libertarianisme : Filosofi Politik Yang Menekankan Kebebasan Individu Hak Asasi, dan Peran Minimal Negara Dalam Membangun Masyarakat Yang Mandiri Dan Bertanggung Jawab

Published

on

Libertarianisme adalah salah satu filosofi politik yang berakar pada penghargaan terhadap kebebasan individu sebagai nilai fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Filosofi ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan yang tidak boleh dilanggar oleh pihak lain, termasuk negara. Libertarianisme menawarkan pandangan yang berani tentang bagaimana masyarakat dapat berkembang melalui kebebasan individu dan peran minimal negara.

Artikel ini akan membahas prinsip-prinsip utama libertarianisme, akar filosofisnya, penerapannya dalam politik dan ekonomi, serta tantangan dan kritik yang dihadapinya.


Akar Filosofis Libertarianisme

Libertarianisme berakar pada tradisi filsafat Barat yang menekankan hak-hak individu dan kebebasan. Beberapa pemikir penting yang memengaruhi perkembangan libertarianisme meliputi:

  1. John Locke
    Locke, dalam teorinya tentang kontrak sosial, menyatakan bahwa individu memiliki hak-hak alami yang meliputi hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah hanya ada untuk melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melampaui batas-batas yang diberikan oleh rakyat.
  2. Adam Smith
    Sebagai bapak ekonomi pasar bebas, Adam Smith mendukung gagasan bahwa pasar yang bebas dari campur tangan pemerintah akan menghasilkan efisiensi dan kemakmuran bagi masyarakat.
  3. John Stuart Mill
    Mill, melalui bukunya On Liberty, menekankan pentingnya kebebasan individu dalam berpikir, bertindak, dan berbicara, selama tidak melanggar kebebasan orang lain.
  4. Ayn Rand
    Dalam filosofinya yang dikenal sebagai objektivisme, Rand mempromosikan individualisme radikal dan peran minimal pemerintah dalam kehidupan masyarakat.

Prinsip-Prinsip Utama Libertarianisme

Libertarianisme didasarkan pada beberapa prinsip fundamental yang mencerminkan nilai inti kebebasan individu:

1. Kebebasan Individu

Individu memiliki hak mutlak untuk mengatur hidupnya sendiri, termasuk hak atas tubuh, pikiran, dan tindakannya. Hak-hak ini tidak boleh dilanggar oleh pihak lain, termasuk negara.

2. Peran Minimal Negara

Libertarianisme percaya bahwa peran negara harus dibatasi pada fungsi-fungsi esensial, seperti melindungi hak individu, menjaga keamanan, dan menegakkan hukum. Campur tangan negara dalam kehidupan pribadi dan ekonomi dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan.

3. Pasar Bebas

Pasar bebas dipandang sebagai mekanisme yang paling efisien untuk distribusi sumber daya. Libertarianisme menolak intervensi negara dalam ekonomi, seperti regulasi berlebihan atau subsidi, karena dianggap merugikan kompetisi dan inovasi.

4. Hak Kepemilikan

Hak atas kepemilikan pribadi adalah inti dari kebebasan individu. Libertarianisme menekankan bahwa individu memiliki hak penuh atas apa yang mereka hasilkan atau peroleh secara sah.

5. Tanggung Jawab Individu

Kebebasan harus diimbangi dengan tanggung jawab. Libertarianisme mendorong individu untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka sendiri, termasuk menghadapi konsekuensi dari pilihan tersebut.


Libertarianisme dalam Praktik Politik

1. Sistem Pemerintahan

Libertarianisme mendukung bentuk pemerintahan yang terbatas. Pemerintah seharusnya tidak mengatur perilaku individu atau mengendalikan ekonomi secara berlebihan. Fungsi utama negara adalah menjaga hukum dan ketertiban, mempertahankan keamanan nasional, dan menegakkan kontrak.

2. Kebijakan Ekonomi

Libertarianisme mendukung kapitalisme pasar bebas, di mana individu dan perusahaan memiliki kebebasan untuk bersaing tanpa campur tangan pemerintah. Pajak yang rendah, penghapusan regulasi yang tidak perlu, dan perlindungan hak properti adalah inti dari kebijakan ekonomi libertarian.

3. Hak Sipil

Libertarianisme mempromosikan hak-hak sipil, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan hak untuk memiliki senjata. Kebijakan yang membatasi kebebasan individu, seperti pengawasan massal atau hukum sensor, dianggap bertentangan dengan nilai-nilai libertarian.

4. Kebijakan Sosial

Libertarianisme cenderung mendukung liberalisasi dalam kebijakan sosial, seperti legalisasi narkoba, pernikahan sesama jenis, dan hak aborsi. Dalam pandangan libertarian, pemerintah tidak berhak campur tangan dalam keputusan pribadi individu.


Kritik terhadap Libertarianisme

Seperti filosofi politik lainnya, libertarianisme juga menghadapi kritik dari berbagai perspektif:

1. Ketimpangan Sosial

Para kritikus berpendapat bahwa pasar bebas tanpa regulasi cenderung menghasilkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang ekstrem, karena tidak semua individu memiliki akses yang sama ke peluang.

2. Kekurangan Jaminan Sosial

Libertarianisme yang menolak peran negara dalam kesejahteraan sosial dianggap mengabaikan tanggung jawab kolektif terhadap kelompok rentan, seperti orang miskin, lansia, dan penyandang disabilitas.

3. Masalah Lingkungan

Kebijakan libertarian yang menolak regulasi dapat mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, karena perusahaan tidak selalu bertindak dalam kepentingan jangka panjang masyarakat.

4. Realitas Kompleks

Beberapa kritikus berpendapat bahwa libertarianisme terlalu idealis dan sulit diterapkan dalam masyarakat modern yang kompleks, di mana masalah seperti keamanan nasional dan perubahan iklim memerlukan intervensi negara.


Libertarianisme di Era Modern

Dalam era globalisasi dan teknologi, libertarianisme tetap relevan sebagai alternatif untuk menjawab tantangan zaman. Filosofi ini sering menjadi landasan gerakan politik dan ekonomi di berbagai negara. Beberapa tren yang mencerminkan prinsip-prinsip libertarianisme meliputi:

  • Kebangkitan Ekonomi Digital: Pasar bebas internet memungkinkan individu dan perusahaan untuk berkembang tanpa batasan geografis atau regulasi berlebihan.
  • Decentralized Finance (DeFi): Teknologi blockchain dan cryptocurrency mencerminkan prinsip kebebasan ekonomi dan pengurangan peran perantara.
  • Gerakan Privasi Digital: Upaya untuk melindungi privasi individu dari pengawasan pemerintah sejalan dengan nilai-nilai libertarianisme.

Libertarianisme adalah filosofi politik yang menawarkan pandangan yang unik tentang bagaimana masyarakat dapat berkembang melalui kebebasan individu dan peran minimal negara. Dengan menekankan hak asasi, pasar bebas, dan tanggung jawab individu, libertarianisme memberikan alternatif yang menarik bagi sistem politik dan ekonomi yang ada.

Namun, implementasi filosofi ini memerlukan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab kolektif. Dalam dunia yang semakin kompleks, tantangan seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan ancaman keamanan menuntut pendekatan yang adaptif. Meskipun demikian, libertarianisme tetap relevan sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang mandiri, bertanggung jawab, dan menghormati hak-hak individu.

Continue Reading

Filosofi Politik

Memahami Dasar-Dasar Pemikiran dalam Pengelolaan Kekuasaan

Published

on

Pengelolaan kekuasaan adalah salah satu aspek paling krusial dalam kehidupan politik dan sosial. Dalam konteks ini, pemahaman tentang dasar-dasar pemikiran yang mendasari pengelolaan kekuasaan menjadi sangat penting. Artikel ini akan membahas berbagai konsep dan teori yang membentuk cara kita memahami dan mengelola kekuasaan, serta implikasinya terhadap masyarakat.

1. Definisi Kekuasaan

Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan tindakan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks politik, kekuasaan sering kali terkait dengan otoritas yang dimiliki oleh individu atau institusi untuk membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pemahaman tentang kekuasaan tidak hanya terbatas pada aspek politik, tetapi juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan budaya.

2. Teori Kekuasaan

Ada berbagai teori yang menjelaskan bagaimana kekuasaan berfungsi dalam masyarakat. Salah satu teori yang paling terkenal adalah teori kekuasaan dari Michel Foucault. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya terletak pada institusi formal seperti pemerintah, tetapi juga tersebar di seluruh jaringan sosial. Ia menekankan bahwa kekuasaan beroperasi melalui hubungan sosial dan praktik-praktik yang membentuk pengetahuan dan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian, pemahaman tentang kekuasaan harus melibatkan analisis terhadap konteks sosial dan budaya di mana kekuasaan itu beroperasi.

3. Dasar-Dasar Pemikiran dalam Pengelolaan Kekuasaan

Dasar-dasar pemikiran dalam pengelolaan kekuasaan mencakup berbagai konsep yang telah berkembang sepanjang sejarah. Beberapa di antaranya adalah:

  • Legitimasi: Legitimasi adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan kekuasaan. Sebuah kekuasaan dianggap sah jika didukung oleh masyarakat. Teori legitimasi, seperti yang dikemukakan oleh Max Weber, membedakan antara tiga jenis legitimasi: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Pemahaman tentang legitimasi membantu kita memahami mengapa beberapa pemimpin atau institusi dapat mempertahankan kekuasaan mereka, sementara yang lain tidak.
  • Kekuasaan dan Oposisi: Dalam pengelolaan kekuasaan, selalu ada dinamika antara kekuasaan dan oposisi. Oposisi dapat muncul dari individu atau kelompok yang menentang kebijakan atau tindakan penguasa. Pemahaman tentang oposisi ini penting untuk menciptakan ruang bagi dialog dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
  • Kekuasaan dan Keadilan: Keadilan adalah konsep yang sering kali menjadi landasan dalam pengelolaan kekuasaan. Pemimpin yang baik harus mampu mengelola kekuasaan mereka dengan cara yang adil dan merata. Konsep keadilan ini dapat bervariasi tergantung pada konteks budaya dan sosial, tetapi pada dasarnya, keadilan berkaitan dengan distribusi sumber daya dan kesempatan secara adil di antara anggota masyarakat.

4. Implikasi Pengelolaan Kekuasaan

Pemahaman yang mendalam tentang dasar-dasar pemikiran dalam pengelolaan kekuasaan memiliki implikasi yang signifikan bagi masyarakat. Pertama, hal ini dapat membantu menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akun tabel. Dengan memahami bagaimana kekuasaan beroperasi, masyarakat dapat lebih kritis terhadap tindakan pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban. Kedua, pemahaman ini juga dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik. Ketika individu memahami bagaimana kekuasaan berfungsi, mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Ini dapat menciptakan masyarakat yang lebih demokratis dan inklusif. Ketiga, pemahaman tentang pengelolaan kekuasaan dapat membantu dalam menciptakan kebijakan yang lebih efektif. Dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan kepentingan, pengambil keputusan dapat merumuskan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Continue Reading

Filosofi Politik

Pilkada Rasa Pilpres : Pertarungan Sengit PDIP Melawan Pengaruh Jokowi Di ‘Kandang Banteng’

Published

on

PDI Perjuangan (PDIP) tengah menghadapi pertarungan politik besar untuk mempertahankan ‘kandang banteng’ dalam Pilkada 2024. Setelah mengalami kekalahan dalam Pilpres 2024, PDIP harus berjuang keras di wilayah yang selama ini menjadi basis kuat mereka, seperti Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Bali. Pengaruh besar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dukungannya kepada beberapa calon yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) semakin memperberat upaya PDIP untuk merebut kembali kekuasaan di wilayah-wilayah tersebut.

Dalam putaran Pilpres 2024, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming—putra Jokowi—berhasil meraih kemenangan di wilayah yang selama ini dikenal sebagai pusat kekuatan PDIP. Kekalahan ini memperlihatkan dampak dari perseteruan yang muncul antara Jokowi dan PDIP, meskipun keduanya telah lama berkolaborasi. Istilah ‘kandang banteng’ pun semakin mendapat sorotan, terutama dalam konteks Pilkada 2024 yang memperlihatkan adanya rivalitas mendalam antara PDIP dan pengaruh Jokowi di daerah yang menjadi lumbung suara partai tersebut.

Pilgub Jawa Tengah: Pertarungan Sengit di ‘Kandang Banteng’

Di Jawa Tengah, yang selama ini menjadi benteng suara terbesar bagi PDIP dengan lebih dari 20% suara nasional, partai tersebut menghadapi persaingan ketat. Meskipun mendominasi kursi parlemen dan memenangkan Pemilu 2024, PDIP mengalami penurunan perolehan suara yang signifikan, khususnya di wilayah-wilayah basis pendukung utama mereka.

Menyadari situasi yang semakin menantang, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, langsung turun tangan melakukan konsolidasi dan memberi dukungan penuh kepada calon yang diusung PDIP di Jawa Tengah. Megawati berupaya memobilisasi dukungan dan menyatukan basis pendukung PDIP di provinsi dengan populasi 37,6 juta jiwa ini. Namun, di sisi lain, Jokowi yang sudah selesai menjabat sebagai presiden justru menunjukkan dukungan simbolik kepada pasangan calon dari KIM Plus di Solo, tempat asalnya, memperlihatkan rivalitas terselubung antara dirinya dan Megawati.

Para pengamat politik mengamati bahwa persaingan di Pilgub Jawa Tengah kali ini tidak hanya sebatas perebutan jabatan lokal, tetapi juga menyimbolkan dinamika pergeseran kekuatan di dalam internal koalisi. Jokowi yang memiliki sejarah panjang dengan PDIP, kini justru terlihat memberi dukungan di luar partai yang telah mengangkatnya. Ini mengindikasikan hubungan yang tidak lagi solid antara Jokowi dan PDIP.

Latar Belakang: Hubungan Jokowi dan PDIP yang Kian Merenggang

Hubungan Jokowi dengan PDIP dimulai sejak 2005 saat dia maju sebagai Wali Kota Solo dan mendapat dukungan penuh dari Megawati. Keduanya sering memperlihatkan hubungan erat layaknya ibu dan anak. Namun, dinamika politik yang terus berubah mempengaruhi hubungan tersebut. Dalam Rakernas PDIP IV di Jakarta pada September 2023, kebersamaan keduanya terakhir terlihat di hadapan publik. Namun, keretakan hubungan ini disebut-sebut mulai terjadi ketika Jokowi menginginkan dukungan untuk jabatan presiden tiga periode—a demand yang tidak diakomodir oleh PDIP.

Meskipun pernyataan tersebut telah dibantah oleh berbagai pendukung Jokowi, isu ini menimbulkan perpecahan di antara kedua pihak dan memicu pembentukan poros politik baru di Pilpres 2024. Dukungan Jokowi kepada Prabowo dan Gibran dalam Pilpres 2024 dipandang sebagai bentuk ‘cawe-cawe’ yang semakin memperlebar jarak antara dirinya dan PDIP. Ketegangan ini berlanjut hingga Pilkada 2024, yang disebut-sebut sebagai ‘miniatur pilpres’ karena melibatkan perebutan pengaruh dan dukungan yang besar dari berbagai pihak.

Sumatra Utara dan Bali: ‘Kandang Banteng’ yang Kembali Diperebutkan

Di Sumatra Utara, PDIP kembali menghadapi tantangan berat dengan munculnya nama Bobby Nasution—menantu Jokowi—yang menjadi salah satu sosok kuat dalam Pilgub Sumut. Aksi dukungan Jokowi untuk keluarga dan sahabatnya, termasuk Bobby di Sumatra Utara dan Ahmad Luthfi di Jawa Tengah, dianggap sebagai sinyal bahwa Jokowi siap bersaing di kandang PDIP.

Bali, yang menjadi wilayah basis kuat PDIP selama bertahun-tahun, juga dihadapkan pada tantangan yang serupa. Koalisi Indonesia Maju diperkirakan akan mengerahkan segala upaya untuk memenangkan wilayah ini, yang selama ini menjadi simbol kesetiaan terhadap PDIP. Berbagai strategi politik kini mulai diterapkan oleh kedua belah pihak untuk mempertahankan pengaruh di wilayah-wilayah tersebut.

Akankah Pilkada 2024 Mengulangi Hasil Pilpres?

Dalam beberapa survei yang dilakukan, persaingan di Jawa Tengah dan wilayah basis PDIP lainnya menunjukkan bahwa hasil Pilkada 2024 dapat mencerminkan kembali hasil Pilpres 2024, dengan persaingan ketat antara kandidat yang didukung oleh PDIP dan kandidat yang mendapat restu dari Jokowi. Beberapa faktor yang akan memengaruhi hasil akhir dari Pilkada 2024 di wilayah-wilayah ini adalah kekuatan mesin politik PDIP, dukungan dan pengaruh Jokowi di lapangan, serta kondisi hubungan antara partai-partai dalam koalisi.

Banyak pihak yang menilai bahwa jika PDIP tidak mampu mempertahankan ‘kandang banteng’ dalam Pilkada 2024, hal ini akan menjadi sinyal bahwa perubahan besar dalam dinamika politik Indonesia sedang berlangsung. Terlepas dari hasil akhirnya, pertarungan ini memperlihatkan betapa besar pengaruh Jokowi di kancah politik nasional, bahkan setelah dia tidak lagi menjabat sebagai presiden.

Dengan melihat berbagai dinamika dan perkembangan politik di Pilkada 2024, tampak bahwa pertarungan antara PDIP dan pengaruh Jokowi tidak hanya sekadar perebutan kekuasaan lokal, tetapi juga simbol persaingan yang lebih besar dalam politik nasional.

Continue Reading

Filosofi Politik

Sistem Politik Demokrasi Jadi Harapan untuk Pemberantasan Korupsi Menurut Mahfud Md

Published

on

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md., menegaskan bahwa sistem politik demokrasi merupakan harapan besar bangsa ini untuk mengatasi masalah korupsi yang merajalela. Dalam diskusi bertajuk “Pemberantasan Korupsi: Masihkah Ada Harapan?” yang diadakan di Jakarta pada Rabu, Mahfud menyampaikan keyakinannya bahwa demokrasi memiliki mekanisme yang mampu membuka peluang bagi upaya perbaikan berkelanjutan.

Mahfud menjelaskan bahwa demokrasi menyediakan momentum setiap lima tahun sekali, di mana rakyat memiliki kekuatan untuk memilih dan mengevaluasi pemimpin mereka. “Demokrasi adalah harapan karena selalu ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Jika ada pemimpin yang tidak serius memberantas korupsi, masyarakat dapat menggantinya secara terjadwal atau bahkan melalui proses paksa jika diperlukan,” ungkap Mahfud.

Ia menekankan bahwa korupsi sebenarnya berakar dari distribusi kekuasaan yang tidak sehat, karena praktik korup biasanya melibatkan pejabat negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepada mereka. Menurut Mahfud, masalah korupsi tidak disebabkan oleh rendahnya gaji pejabat, tetapi justru sering dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki penghasilan besar. “Bukan karena gaji kecil, tapi pelakunya sering kali justru orang yang bergaji besar dan memiliki kekuasaan,” katanya.

Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa sistem politik demokrasi memberi ruang bagi para pemimpin untuk membuktikan komitmen mereka dalam memberantas korupsi. Jika peluang ini tidak digunakan dengan baik, rakyat tetap memiliki kendali melalui pemilu untuk menggantikan pemimpin yang dianggap gagal. “Demokrasi membuka jalan untuk mengevaluasi dan memperbaiki. Jika pemimpin gagal, masih ada kesempatan berikutnya,” ujarnya.

Mahfud juga mengingatkan bahwa meskipun berbagai teori dan kebijakan telah diterapkan dalam upaya pemberantasan korupsi, kenyataannya masalah ini masih terus ada. “Teori-teori untuk memberantas korupsi sudah habis digunakan dan diundangkan, tapi korupsi masih merajalela,” tutur Mahfud. Ia mencontohkan bahwa sejak awal reformasi, berbagai upaya telah dilakukan, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi permasalahan korupsi belum menunjukkan tanda-tanda penurunan signifikan.

Menurut Mahfud, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia justru cenderung meningkat meski sudah ada berbagai lembaga dan kebijakan yang dirancang untuk memberantas korupsi. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang lebih serius dan komitmen dari setiap lapisan pemerintahan dan masyarakat.

Pergantian Pemerintahan Jadi Momentum Memperbaiki Demokrasi

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md. menyatakan bahwa pergantian kepemimpinan pemerintahan di tingkat nasional dapat menjadi momentum penting untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia yang menurutnya “tidak dalam kondisi baik.” Dalam acara Indonesia Integrity Forum 2024 yang digelar oleh Transparency International Indonesia, Mahfud menjelaskan bahwa setiap kali terjadi perubahan kepemimpinan yang signifikan, ada peluang untuk memperbaiki sistem demokrasi.

“Demokrasi di Indonesia biasanya mengalami perbaikan dalam beberapa waktu setelah terjadi perubahan yang cukup keras,” ujar Mahfud di Jakarta, Kamis. Mahfud mencontohkan bahwa sepanjang sejarah Indonesia, demokrasi mengalami kemajuan signifikan saat terjadi pergantian besar, seperti dari Orde Lama ke Orde Baru, dan kemudian dari Orde Baru ke era reformasi.

Namun, Mahfud mengingatkan bahwa perbaikan demokrasi tersebut sering kali bersifat sementara. Setelah dua atau tiga tahun, demokrasi kembali merosot dan cenderung kembali ke arah yang salah. “Setelah reformasi, demokrasi memang membaik, tetapi hanya bertahan setahun atau dua tahun sebelum kembali memburuk. Memelihara demokrasi itu menjadi tantangan yang besar setelah pergantian kepemimpinan,” tambah Mahfud.

Ini Merupakan Waktu Yang Sangat Tepat

Menurut Mahfud, saat ini merupakan  waktu yang tepat untuk memanfaatkan momentum pergantian pemimpin guna memperbaiki kualitas demokrasi. Ia mengharapkan agar pemerintahan mendatang lebih serius dalam menjaga dan memperkuat demokrasi yang masih rapuh.

Ia juga menyoroti hasil survei yang sering kali menampilkan seolah-olah demokrasi di Indonesia dalam kondisi baik, padahal hal tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Mahfud menjelaskan bahwa survei biasanya menyasar masyarakat umum yang mungkin tidak memiliki pemahaman mendalam tentang substansi demokrasi. “Hasil survei bisa saja menunjukkan bahwa demokrasi tampak baik-baik saja, tetapi itu karena responden mungkin tidak benar-benar memahami esensi demokrasi,” jelasnya.

Menurut Mahfud, fokus perbaikan demokrasi harus lebih banyak menyasar kalangan elit dan masyarakat yang terdidik, karena mereka memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kualitas demokrasi. Ia menambahkan bahwa edukasi politik bagi rakyat perlu diperkuat, tetapi perbaikan pada tingkat elit juga harus menjadi prioritas.

“Untuk memperbaiki demokrasi, kita tidak harus sepenuhnya berpedoman pada hasil survei. Survei sering kali hanya memberikan gambaran yang dangkal. Paling penting adalah perbaikan di kalangan elit dan terdidik yang dapat memberikan arah yang benar bagi demokrasi kita,” pungkas Mahfud, dalam siaran langsung daring acara tersebut.

 

Continue Reading

Trending

Copyright © 2017 politikapolitika.com