Konflik berkepanjangan di Suriah telah menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia sejak dimulainya perang saudara pada 2011. Berbagai spekulasi mengenai akar penyebab konflik ini seringkali mencuat, termasuk perdebatan tentang apakah agama menjadi faktor utama di balik ketegangan tersebut. Namun, Gus Najih, seorang ulama dan aktivis sosial Indonesia, memberikan pandangannya yang berbeda terkait situasi di Suriah. Menurutnya, konflik di negara Timur Tengah ini bukanlah masalah agama, melainkan lebih merupakan konflik politik yang dipicu oleh kepentingan kekuasaan dan geopolitik.
Pernyataan Gus Najih ini menjadi sorotan karena ia menyarankan untuk melihat situasi Suriah dengan lebih jernih, tanpa terjebak pada interpretasi yang menyederhanakan permasalahan sebagai sekadar konflik sektarian. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang pandangan Gus Najih mengenai konflik di Suriah dan bagaimana perbedaan ini penting dalam memahami dinamika global yang lebih luas.
Konteks Konflik Suriah: Ketegangan yang Memanas
Konflik di Suriah bermula pada tahun 2011, ketika protes pro-demokrasi yang terinspirasi oleh “Arab Spring” di negara-negara Timur Tengah, termasuk Tunisia dan Mesir, mulai mengguncang rezim yang berkuasa di Suriah, yang dipimpin oleh Bashar al-Assad. Apa yang awalnya dimulai sebagai seruan untuk reformasi damai berubah menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai pihak, baik domestik maupun internasional.
Dalam perjalanan konflik ini, Suriah menjadi medan pertempuran bagi berbagai kelompok dengan kepentingan politik dan agama yang berbeda. Negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara tetangga, seperti Turki dan Iran, ikut campur dengan agenda geopolitik mereka sendiri. Dalam konteks ini, masalah agama, meskipun sangat penting dalam struktur sosial Suriah, seringkali dianggap sebagai lapisan permukaan dari konflik yang lebih dalam, yang berakar pada ketidakpuasan politik dan perjuangan untuk mempertahankan atau mengubah keseimbangan kekuasaan di negara tersebut.
Gus Najih: Konteks Politik di Balik Konflik Suriah
Gus Najih, yang dikenal sebagai seorang ulama moderat dan pemikir yang mendalam, berpendapat bahwa situasi di Suriah tidak bisa dipahami hanya melalui lensa sektarianisme atau agama. Menurutnya, konflik ini lebih berfokus pada perebutan kekuasaan politik antara pemerintah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi yang berusaha menggulingkan rezim tersebut. Gus Najih menekankan bahwa meskipun agama memainkan peran dalam identitas kelompok yang terlibat, akar masalah Suriah sejatinya terletak pada konflik politik yang lebih besar dan lebih kompleks.
“Situasi di Suriah lebih tentang perebutan kekuasaan daripada konflik agama,” ujar Gus Najih dalam berbagai kesempatan. Ia menjelaskan bahwa meskipun Suriah adalah negara dengan populasi yang beragam secara etnis dan agama, konflik utama yang terjadi di sana tidak bisa disederhanakan menjadi perang antara Sunni dan Syiah atau antara agama-agama tertentu. Gus Najih mengajak publik untuk melihat konflik ini dari sudut pandang yang lebih luas, yakni sebagai konflik politik yang didorong oleh kepentingan internasional.
Mengurai Konflik Politik dan Kepentingan Global
Salah satu aspek yang sering terlupakan dalam membahas situasi di Suriah adalah pengaruh besar yang dimainkan oleh kekuatan internasional. Negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Iran, memiliki kepentingan strategis mereka sendiri yang berhubungan dengan posisi Suriah dalam geopolitik global. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya lebih mendukung kelompok oposisi yang berusaha menggulingkan Assad, sementara Rusia dan Iran menjadi pendukung utama pemerintah Assad.
Gus Najih menyoroti bahwa keterlibatan kekuatan-kekuatan besar ini lebih berfokus pada permainan kekuasaan daripada motif agama. “Apa yang terjadi di Suriah adalah permainan politik antar negara, di mana kepentingan nasional lebih dominan daripada alasan agama,” kata Gus Najih. Ia juga menekankan bahwa ketegangan antara Sunni dan Syiah di Suriah, meskipun nyata, seringkali digoreng oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, baik di dalam maupun di luar Suriah, untuk memperburuk situasi dan memperpanjang konflik.
Agama dan Identitas dalam Konflik Suriah
Walaupun Gus Najih menegaskan bahwa konflik di Suriah lebih banyak dipengaruhi oleh politik daripada agama, ia juga mengakui bahwa agama dan identitas memainkan peran dalam memperumit situasi di lapangan. Suriah memiliki penduduk yang mayoritas Sunni, namun di bawah pemerintahan Assad yang Alawi (sebuah cabang minoritas Syiah), banyak kelompok Sunni merasa terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang setara dalam pemerintahan dan militer. Hal ini menciptakan ketegangan sosial yang semakin diperburuk oleh politik identitas.
Namun, bagi Gus Najih, meskipun identitas agama dapat memperburuk ketegangan, politik adalah motor utama dari eskalasi kekerasan di Suriah. Ia menyarankan agar masyarakat internasional tidak terjebak dalam narasi sektarian yang sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan harus menyoroti akar politik dari masalah ini.
Solusi Berdasarkan Pendekatan Politik yang Inklusif
Gus Najih juga menawarkan pandangan tentang bagaimana solusi untuk konflik Suriah seharusnya dicapai. Ia berpendapat bahwa dialog politik yang inklusif dan kesediaan semua pihak untuk duduk bersama adalah jalan keluar terbaik. Hal ini berarti bahwa pemerintah Assad, kelompok oposisi, serta kekuatan internasional yang terlibat dalam konflik ini harus mencari titik temu yang tidak hanya berbasis agama, tetapi juga berorientasi pada kepentingan politik jangka panjang.
Penyelesaian yang baik, menurut Gus Najih, memerlukan pendekatan yang lebih humanistik dan memperhatikan hak-hak semua pihak. Ia menekankan pentingnya menghormati keberagaman etnis dan agama di Suriah, serta mengedepankan perdamaian dan rekonsiliasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk mereka yang selama ini berada dalam posisi terpinggirkan.
Dampak Pandangan Gus Najih terhadap Pemahaman Konflik Suriah
Pandangan Gus Najih mengenai konflik Suriah membawa perspektif yang lebih luas dan lebih mendalam tentang akar masalah yang sesungguhnya. Dengan menekankan bahwa konflik ini bukan hanya soal agama, Gus Najih mengajak kita untuk melihat lebih jauh ke dalam faktor-faktor politik dan internasional yang berperan besar dalam memperburuk situasi. Pemahaman yang lebih komprehensif tentang masalah ini dapat membantu mengurangi stereotip yang sering kali muncul di media, yang mengarah pada pemahaman yang salah tentang konflik tersebut.
Dalam konteks Indonesia, pandangan Gus Najih sangat relevan untuk mencegah terjadinya polarisasi yang sama, baik di tingkat domestik maupun dalam melihat dinamika politik internasional. Sebagai negara dengan keberagaman yang sangat kaya, Indonesia harus mampu melihat konflik-konflik internasional seperti yang terjadi di Suriah dengan kearifan dan pendekatan yang lebih inklusif, menghindari narasi yang memperburuk perpecahan.
Pandangan Gus Najih bahwa konflik di Suriah bukanlah soal agama, tetapi lebih kepada konflik politik yang dipicu oleh kepentingan kekuasaan dan geopolitik global, memberikan pemahaman yang lebih jernih tentang permasalahan yang terjadi. Ia mengajak kita untuk tidak terjebak pada narasi yang menyederhanakan masalah dengan melihatnya hanya dari sudut pandang sektarian, melainkan harus mengakui dimensi politik yang lebih kompleks di balik ketegangan tersebut. Dengan perspektif ini, kita dapat lebih bijaksana dalam menyikapi situasi global dan membangun solidaritas yang lebih kuat untuk perdamaian dunia.